Jumat, 04 April 2014

Perpisahan

tulisan ini saya dapat dari catatan di tahun 2010 berawal karena tugas bahasa Indonesia.
judul asli
"Ranting tak Bernyawa"


                Di hijaunya rumput yang bergoyang tertiup angin, aku mencoba menghirup udara yang menghanyutkan perasaan bahagia ini. Daun-daun teh yang terhampar, anak sungai yang mengalir, satu demi satu ranting itu melepaskan daunnya.
                Kala itu kami yang dibalut gaun-gaun nan indah dengan tawa saut menyaut. Berbagai pose dan jurus andalan berusaha dikeluarkan.
                Tak sangka senyuman itu telah ternodai oleh caci, maki, kebencian, dan permusuhan. Memasuki kelas XI tepatnya IPA 4 adalah masa indah kami, itulah yang sempat terpikir. Tidak salah memang, bagaikan air hujan yang tersinari matahari sehingga menghamburkan spektrum cahaya berjejer satu dengan lainnya memunculkan rona keindahan.
                Kehidupan tak selamanya mengikuti alur pikiran kita, yang saat berkelok bahkan menikuk dapat melangkah lurus tanpa ada penolakan. Begitu pula dengan sebuah persahabatan.  Aku, Sari, dan Ita sahabat yang saling menyayangi satu sama lain.
                Namun ada sesuatu yang aneh yang terjadi dalam diri kami. Kini tak selamanya aku dapat percaya makna dari sahabat. Kami dihianati, kami dibohongi, kami disiasati, kami dibodohi beribu penyesalan menyelusup dalam benak dan hati kami.
                ‘Ita’ nama yang menjijikan. Mendengarnya bisa membuatku termakan amarah kebencian. Muak rasanya berhadapan dengan makhluk tak tau malu. Jika aku tulis runtuy, satu bukupun tidak mungkin dapat memuat semua kebencianku.
                Dari sanalah kehidupan berputar seratus delapan puluh derajat. Kini tidak ada lagi senyum antara aku dan dia.
                Selama masa itu, akhirnya aku mengenal orang-orang di sekitar yang kusebut sebagai teman. Ratu, Nurul, Hidaya, Bayu, Lida. Hari demi hari, masalah demi masalah yang sama mengikat kami dalam sebuah persahabatan.
                Hampir setiap hari mereka mengunjungi rumahku yang disebut-sebut markas. Pertemuan ini menumbuhkan butir-butir kasih sayang yang kian menumpuk. Persahabatan ini layaknya heroin yang kian hari semakin dan semakin ingin mencoba.
                Masalah yang kian memuncak dengan diadakannya musyawarah kelas yang sebenarnya begitu berat untukku menceritakan masalah pribadi yang tidak perlu orang lain tau tidak juga menemukan titik temu. Tetesan air mata berjatuhan menggema memenuhi tiap sudut IPA 4. Saling tuduh, saling menyalahkan tidak henti-hentinya. Perang dingin ini terus berlanjut. Dan aku tidak rela Nurul dirutuk busuk oleh orang yang busuk.
                Kami begitu lelah dengan apa yang terjadi. Cukup sudah bibir-bibir itu berbicara di belakang kami. Sekolah bagaikan penjara yang sesak dengan kebencian. Tidak ada kasing sayang. Setiap orang hanya perlu melindungi dirinya masing-masing. Setiap orang hanya mementingkan urusan pribadi. Setiap orang egois memikirkan harga nilai demi sebuah prestasi. Berlomba-lomba dalam kecurangan. Tidak ada satupun yang boleh dipercaya bagai menusuk dari belakang atau bahkan musuh dalam selimut.
                Saat itulah aku sangat tidak menyukai IPA 4. Aku benci, benar-benar benci IPA 4. Semua hanya kebohongan belaka layaknya panggung sandiwara. Hingga Meralpun hengkang bukan hanya dari IPA 4, tapi juga dari SMA.
                Memasuki tahun ajaran baru kelas XII. Keadaan dingin masih terus berlanjut, hanya tidak disertai caci maki. Ramdan, Dani, dan Herdi mengundurkan diri dari IPA 4 dengan alasan yang hampir sama.
                Menjelang bulan Ramadhan otomatis sekolah mengadakan salam-salam untuk saling memohon maaf. Berawal dari ketidaksengajaan Ita meminta maaf terhadap Sari dengan saling berpelukan, hal itu juga dilakukannya pada Ratu dan yang lain. Sontak kami kaget setelah sadar siapa orang yang kami peluk. Kepalang basah dengan terpaksa kami memaafkannya.
                Beberapa minggu dari kejadian tersebut kecanggungan menyelimuti kami dengan Ita. Hanya untuk say hellopun seperti menanggung beban berat, mulut kami terkunci.
                Tiba dimana kami siap untuk saling membuka diri. Namun apa yang terjadi? Kedekatan kami menjadikan perbincangan teman sekelas. Kami layaknya dua sejoli yang baru memadu kasih.
                “Ita bisa ngga gayanya lebih feminim dikit? Kasian tu gaun,” candaku ketika kami berfoto di rimbunnya dedaunan.
                “Gila kamu aku ngga biasa.”
                Biarlah daun-daun hijau itu menjadi saksi kisah kami. Menjadi bukti ketulusan persahabatan yang sempat lepas demi tercipatanya persahabatan yang kokoh.
                Kini aku sadar bahwa hidup sebenarnya begitu manis. Hanya tergantung bagaimana orang itu mengolahnya. Manusia selalu tertutupi oleh egonya. Dan aku juga begitu bersyukur dilahirkan menjadi seorang Risa yang menjadi warga XII IPA 4 saat ini.
                Sungguh kebahagiaan itu datang dari IPA 4. Selama ini akulah yang tidak dapat membuka mata, sekelilingku adalah sarang kebahagiaan. Tanpa mereka tidak akan mungkin pernah ada cerita SMA.
                Menyesal mengapa tidak sedari dulu kebersamaan ini datang. Mengapa harus disaat kami akan berpisah. Selamat jalan kawan.
Selamat tinggal SMAku.
Dan selamat datang masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks, , ,
blh comment, , , yg penting asik asik aja